Antropologi dalam Tradisi Kliwonan
Di Kabupaten Batang
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat
jawa sangat terkenal sebagai masyarakat yang heterogen, dimana
didalamnya pun masih terpelihara dengan baik berbagai macam kebudayaan dan
tradisi yang tentunya erat kaitannya dengansuatu mitos atau kepercayaan
tertentu. Seiring perkembangan zaman dan banyaknya pengaruh kebudayaan asing yang
mulai menggerus kebudayaan Indonesia, kebudayaan Jawa dinilai paling kokoh dan
memiliki eksistensi yang tinggi.
Dalam Laporan ini
penulis akan membahas hasil penelitian Antropologi dalam tradisi
Kliwonan di Kabupaten Batang, yang mana diperoleh dari berbagai sumber,
diantaranya wawancara, artikel berita, blog dan onlilne, serta observasi
langsung pada tanggal 7 Desember 2012 atau bertepatan saat dilaksanakannya
tradisi kliwonan pada sore Kamis wage sampai malam jumat kliwon di Alun-alun
Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Tradisi ini rutin di gelar setiap 35 hari sekali
(selapan).
Namun demikian, tentunya penulis meminta maaf atas
banyaknya kekurangan dan kesalahan yang terjadi dalam penyusunan laporan ini.
Penulis berharap agar dikemudian hari dapat memperbaiki Laporan ringkas ini dan
juga membuat penelitian-penelitian lain yang diharapkan dapat sedikit membantu
dan memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Laporan ini juga dibuat
untuk memenuhi yugas setara dengan Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah
Metodologi Studi Islam tahun 2012.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kliwonan
Menurut wawancara dengan
Bapak H. Shobirin (60th) warga Kelurahan Kauman Batang, Kliwonan
adalah suatu tradisi yang telah rutin dilaksanakan setiap jumat kliwon sejak pra-kemerdekaan
sampai sekarang. Beliau menuturkan bahwa pada awalnya kliwonan ini dilaksanakan
pada setiap hari Jumat kliwon setiap 35 hari sekali (selapan) oleh orang yang
ingin atau telah terbebas dari bala.
Tradisi in dilakukan
dengan cara yang unik, yakni dengan mengguling-gulingkan diri pada tanah
didekat pohon beringin Alun-alun Batang, kemudian setelah kotor, membuang
bajunya dan mandi dengan air yang berada di masjid Agung Batang. Tak hanya itu
saja, orang itu juga harus menaburkan recehan uang logam dan jajanan pasar.
Biasanya tradisi ini dilakukan oleh anak-anak kecil ditemani oleh orang tuanya.
Namun, seiring sejalan,
menurut penelitian langsung, tradisi tersebut sudah hilang, yang ada hanyalah
para pedagang dan kerumunan pembeli dari berbagai wilayah yang memadati
Alun-alun Batang, bahkan menjalar hingga ke jalan raya. Tapi masih bisa dilihat
ritual mininya, yakni adanya anak-anak kecil bersama orang tuanya. Anak-anak
itu dimandikan ditempat wudhu masjid Agung Batan, dan kemudian meninggalkan pakaian
yang dikenakan dari rumah yang diharapkan, anak itu akan menjadi anak yang
baik. Lalu orang tuanya mengajak anak tersebut untuk rekreasi dan membeli
kesukaan anak di Alun-alun Batang.
B. Mitos
dibalik Kliwonan
Kliwonan ini sendiri
merupakan ritual jaa yang syarat dengan mitos, pada kliwonan zaman dahulu
terjadi mitos, yakni masyarakat mempercayai bahwa jika mereka
menggulung-gulingkan diri pada tanah, merupakan symbol bahwa mereka merupakan
makhluk yang kotor, artinya tak luput dari secuilpun dosa. Kemudian mandi di
air yang berada di Masjid Agung Batang, symbol dari pensucian diri dihadapan
Allah swt, dan membuang pakaina yang telah dikenakan saat mengguling-gulingkan
diri, merupakan symbol membuang bala.
Pada Zaman sekarang, tradisi kliwonan yang
telah identic dengan pasar malam, juga tak luput dari mitos. Para pedagang
ramai-ramai berbodong datang dari berbagai daerah dengan maksut agar
sepulangnya mereka ke daerah asal, dagangan mereka akan semakin laku dan laris,
tutur salah seorang pedagang baju Herman Wijayanto yang berasal dari
Purwokerto, Jawa Tengah.
Tak hanya itu, suatu
kejadian aneh juga terjadi saat pada suatu jumat kliwon, warga tidak
melaksanakan tradisi ini tiba-tiba terdengar suara ledakan dari pohon beringin
besar yang berada di tengah Alun-alun Batang. Suara itu disinyalir berasal dari
pohon tersebut, karena di sekitar lokasi, tidak terdapat bekas ceceran petasan
maupun pemicu ledakan lain. Warga sekitar mempercayai, bahwa leluhur mereka
marah karena kliwonan saat itu tidak dilaksanakan, bahkan rencananya hendak
dipindah di Lapangan Dracik Kelurahan Proyonanggan Selatan, karena lokasi kliwonan di Alun-alun, dinilai
menghambat Lalu lintas dan menyebabkan kemacetan.
Setelah kejadian tersebut,
maka warga rutin melaksanakan Pasar malam di Alun-alun setiap Jumat Kliwon.
C.
Keterkaitan Hari Jumat dan Weton Kliwon pada
Pelaksanaan Kliwonan
Hari jumat kliwon
ditetapkan pada pelaksanaan Pasar malam tradisi kliwonan ini. Hal ini dapat
dilihat karena pada hari kamis, sebagian besar pekerja di daerah Batang, maupun
Pekalongan menerima gajinya dihari kamis dan mendatangi Kliwonan untuk
membelanjakan gajinya di pasar malam tersebut.
Selain itu, dibalik
kliwonan, jiga terselip pertanyaan, Mengapa Harus Jum’at Kliwon?
Hari Jumat merupakan hari
libur bagi umat islam yang dibaliknya merupakan hari yang suci. Sedangkan Weton
Kliwon sangat mistis jika dikaitkan dengan masyarakat Jawa. Kliwon juga
mempunyai latar belakang yang didalamnya terdapat berbagi sejarah dan
kepercayaan tertentu bagi Masyarakat Jawa.
Oleh sebab itu hari jumat
dan weton kliwon dianggap sangat tepat karena latar belakang warga dalam hal
ini yaitu masyarakat jawa yang mayoritas adalah muslim, dan mungkin tradisi ini
bisa digolongkan sebagai tradisi kejawen.
D.
Dampak Ekonomi bagi Masyarakat
Sebetulnya patut
disayangkan, karena tradisi yang pada mulanya erat dengan kesederhanaan dan
ritual mitos kebudayaan, malah bergeser menjadi sesuatu yang bersifat duniawi
dan materealistis, yakni kliwonan masa kini sangat erat kaitannya dengan Pasar
Malam tempat jual beli dan ajang obral murah suatu barang dan rekreasi semata.
Berdasarkan data langsung
yang diperoleh saat berlangsungnya kliwonan, terlihat sangat jelas perputaran
uang yang sangat deras, yaitu oleh pihak-pihak sebagai berikut :
1.
Penjual
Berbagai macam
lapak dagangan dengan berbagai variasi, tak akan sulit kita jumpai di pasar
mala mini. Penjualnya pun berasal dari berbagai daerah, menunjukkan bahwa
kliwonan begitu menjanjikan dan dapat meraup keuntungan besar bagi para penjual.
Satu mitos pula, yakni penjual beranggapan jika dagangan mereka pasti akan
laris dan laku keras setelah dibawa kembali ke daerah asal, atau dijual di
event yang berbeda.
2.
Pembeli & Pengunjung
Selain penjual,
pembeli juga berasal dari berbagai daerah. Mereka berbondong-bondong datang
untuk mencari barang yang ingin mereka beli. Pembeli/ Pengunjung ini merupakan
objek sumber uang yang terbesar dan paling potensial. Hali ini terjadi karena
mereka akan membeli barang atau bahkan Jasa, yaitu jasa parkir.
3.
Pemerintah Daerah Kabupaten Batang
Pemkab Batang
sektor kebudayaan dan pariwisata, juga tak ketinggalan meraup untung. Mereka
memperoleh keuntungan dari retribusi penjual, maupun parkir-parkir resmi. Dan
secara tak langsung, hal ini mengundang promosi warga dan turis untuk
berkunjung ke daerah Batang.
4.
Oknum-oknum lain
Oknum-oknum lain
juga memperoleh keuntungan dari tradisi ini, seperti tukang parkir non resmi
dan sodaqoh individu (pengemis).
Selain
dampak ekonomi, dampak lain juga tak dapat dipisahkan dari kliwonan ini, yaitu
kemacetan ( ditangani oleh Polantas Batang) dan Kebersihan ( Dinas kebersihan
Batang).
BAB III
PENUTUP
Demikian Laporan Hasil Penelitian
Antropologi dalam Budaya dan tradisi Kliwonan di Kabupaten Batang. Penulis
meminta maaf atas kekurangan dan hal-hal lain yang kurang berkenan dan juga tak
lupa ucapan terimakasih terutama kepada pihak-pihak narasumber, semoga penulis
dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan hal-hal lain di seputaran
Masyarakat.
Semoga
Laporan ini dapat sedikit memberi informasi dan bermabfaat bagi orang lain.
Amin.
Komentar
Posting Komentar