Makalah Tafsir Ahkam I Bab Shalat Jum'ah


MAKALAH
WALIMAH
       Disusun guna memenuhi tugas kelompok :
Mata Kuliah                        : Hadits Ahkam
Dosen Pengampu                : Hasan Su’aidi, M.Si


logo st.jpg


Disusun Oleh :
1.      Iqbal Kamalludin                    (2011112054)
2.      Muhammad Arief Santosa      (2011112058)


AKHWALUS SYAKHSIYYAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Walimah” ini walaupun hanya dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Hasan Su’aidi M.Si, selaku Dosen mata kuliah Hadits Ahkam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Walimah menggunakan dalil dalil yang ada. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan. 

                                                                                                Pekalongan, Oktober 2013

                                                                                                Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Pengasih tak pilih kasih, Yang Maha Penyayang tak pandang sayang. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, keluarga dan para pengikutnya yang setia. Syukur Alhamdulillahirobbil’alamin.
Dalam kehidupan, sering kita mempunyai keinginan, dan ketika keinginan tersebut telah tercapai, seperti perkawinan, khitanan, ‘aqiqah, hafal Alqur’an dan lain sebagainya hendaklah mengadakan walimah (perayaan) menurut kemampuannya, memberi hidangan dengan mengundang orang banyak, diperuntukkan pada acara yang diadakan sebagai wujud kebahagiaan atas hajat yang telah terpenuhi, disamping itu agar keluarga dekat atau kerabat yang memiliki hubungan dengannya, seperti saudara, paman dan tetangga mereka, ia memiliki hak kekerabatan sesuai tingkat kedekatan dengannya dan mereka mendoakan keluarga yang punya hajat.
Al-Waliimah, jamuan makan yang diundang kepadanya orang-orang untuk menyantapnya karena orang yang bersangkutan mengalami peristiwa yang menggembirakan seperti perkawinan, khitanan, ‘aqiqah, hafal Alqur’an dan lain sebagainya. Allah swt. Telah berfirman : [1]
#sŒÎ) ÷LäêŠÏãߊ (#qè=äz÷Š$$sù #sŒÎ*sù óOçFôJÏèsÛ (#rçŽÅ³tFR$$sù Ÿwur tûüÅ¡Ï^ø«tGó¡ãB B]ƒÏptÎ: 4
Artinya:
jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan …” (Q.S Al-Ahzab: 53)
Abu Hurairah ra. Menerangkan bahwa “Seburuk-buruknya makanan walimah yang disediakan hanya untuk orang-orang kaya saja dan dibiarkan orang-orang fakir. Dan barang siapa tidak memenuhi undangan walimah, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim; Al-Muntaqa 2: 550)[2]
B. Rumusan Masalah
1.    Apa bunyi dari hadits yang menjelaskan masalah walimah?
2.    Apa isi kandungan mengenai hadits tentang walimah tersebut?
3.    Seperti apakah penjelasan dari hadits mengenai walimah?
4.    Bagaimana perbedaan-perbedaan para ahli fiqh seputar masalah walimah?
5.    Dimanakah letak walimah yang sesungguhnya di dalam prosesi pernikahan adat lokal Pekalongan dan sekitarnya?
6.    Apa saja kriteria yang baik dalam pelaksanaan walimah menurut adat prosesi pernikahan  lokal Pekalongan dan sekitarnya dalam pandangan Islam?
C. Tujuan
1.   Untuk mengetahui hadits yang berkenaan dengan masalah walimah.
2.    Untuk mengetahui isi yang terkandung di dalam hadits tersebut.
3.    Untuk mengetahui penjelasan dibalik hadits tentang walimah tersebut.
4.    Untuk mnegetahui perbedaan pendapat di kalangan para ahli fiqh seputar masalah walimah.
5.    Untuk mengetahui di mana letak walimah yang sesungguhnya di dalam prosesi pernikahan adat lokal Pekalongan dan sekitarnya.
6.    Untuk mengetahui kriteria yang baik dalam pelaksanaan walimah menurut adat prosesi pernikahan lokal Pekalongan dan sekitarnya dalam pandangan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits tentang Walimah

عن أنس بن ما لك رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ رَأَ ى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ عَوْ فٍ أَثَرَ صَفْرَةٍ فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالَ : يَا رَسُوْ لَ اللهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلىَ وَزْنِ نَوَا ةٍ مِنْ ذَ هَبٍ , قَالَ :
بَا رَكَ اللهُ لَكَ, اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَا ةٍ
متفق عليه,و اللفظ لمسلم
Artinya :
Anas bin Malik ra mengatakan,” Nabi saw. melihat Abdurrahman bin Auf tangannya ada bekas pacar maka ditanya, “Apakah itu?”. Jawab Abdurrahman, “Ya Rasulullah saya telah kawin dengan seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji kurma maka nabi saw. bersabda kepadanya:
“Semoga Allah memberkati perkawinanmu, buatlah walimah walaupun hanya menyembelih seekor kambing.”
H.R. Bukhari & Muslim[3]
Penjelasan dari hadits tersebut :
Kata “Berwalimahlah walau dengan seekor kambing” merupakan dalil atas adanya walimah dalam pernikahan, demikian pendapat golongan dhahiriyah dan Syafi’I di dalam kitab Al Um, dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Hadits Buraidah : “Bahwa Nabi saw. bersabda: Tatkala Ali meminang Fatimah: Harus ada walimah”. Sanad-sanadnya tidak ada cacatnya.[4]
Ketika Nabi saw. menikah, beliau mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing dan berbagai jenis makanan yang banyak, kemudian mengundang orang-orang yang cukup banyak sesuai dengan hadits dari Anas r.a yang menerangkan bahwa “Aku belum pernah melihat Nabi saw. mengadakan walimah atas salah seorang istrinya seperti yang diadakan ketika beliau menikah dengan Siti Zainab, beliau mengadakan walimahnya dengan menyembelih seekor kambing”.[5] (Riwayat Tsalatsah)
Namun untuk ukuran satu ekor kambing, bukan merupakan hal yang mutlak, karena dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Shafiyah binti Syaibah ra. : “Nabi saw. memberikan walimah sebanyak dua mudd gandum pada saat menikahi sebagian istrinya (1 mudd=3/4kg).[6]
Walimah kawin harus diadakan; maksudnya menerangkan bahwa kedua pengantin benar-benar telah resmi dijodohkan menurut syari’at islam.[7]

B.     Takhrij Hadits
Hadits tentang walimah terdapat di dalam buku yang berjudul RINGKASAN SHAHIH BUKHARI JILID IV  yang diterbitkan oleh Pustaka Azam terjemahan kitab MUKHTASHAR SHAHIH AL IMAM AL BUKHARI karya H MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL ALBANI dalam kitab Pembahasan tentang Nikah (67) BAB 69: “Mengadakan Walimah Meskipun Hanya dengan Seekor Kambing”, dengan nomor hadits 2075 pada halaman 781.[8]
Adapula hadits tersebut tercantum di dalam buku TERJEMAHAN HADIS SHAHIH MUSLIM karya H.A. Razak dan H. Rais Lathief, dalam kitab yang bertemakan “PERKAWINAN DAN SEKITARNYA” untuk bab “Mengadakan walimah hukumnya wajib, tetapi menurut kadar yang tidak mubazir (boros) dengan nomor hadits 831 halaman 176-177.[9]
Hadits tersebut juga terdapat di dalam buku yang berjudul “RINGKASAN SHAHIH BUKHARI” yang merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia kitab AL-TAJRID AL-SHAHIH LI AL-HADITS AL JAMI’ AL-SHAHIH,karya Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi di dalam kitab Nikah (No romawi LX) BAB 20: “Walimah walaupun sekedar dengan seekor kambing” nomor hadits 1855 pada halaman 792.[10]
Selain itu, hadits tersebut juga terdapat di dalam buku TARJAMAH BULUGHUL MARAAM MIN ADILLATIL AHKAM  yang  diterjemahkan dari buku BULUGHUL MARAAM MIN ADILLATIL AHKAM karya Ibnu Hajar Al Asqalany didalam kitab NIKAH (6)  pada Bab 5 : “Walimah” dengan nomor hadits 6.5.01 pada halaman 526.[11]
Hadits itu juga menempati nomor hadits 3271 pada halaman 101 di dalam Masalah 957: “Anjuran Menyelenggarakan Walimah”,  dalam BAB I Hukum-hukum Walimah untuk pembahasan ke 4 seputar WALIMAH dalam KITAB NIKAH buku “KOLEKSI HADITS-HADITS HUKUM jilid 4” karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.[12]
Adapun Hadits tersebut juga terdapat dalam buku karya Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy yang berjudul 2002 MUTIARA HADITS V bagian ke Sembilan tentang KITABUN NIKAH bab ke 50 tentang perkawinan Zainab binti Jahasy nomor hadits 907 halaman 221 dan didalamnya tercantum pula : Al – Bukhary 67:64, Muslim 16:14, Al-Lu’ Lu-u wal Marjan 2 : 110.[13]

C.    Pembahasan Walimah

v  Pengertian Walimah

Walimah diambil dari kata walam, yaitu mengumpulkan. Dikatakan demikian, ialah karena dua suami istri berkumpul. Demikian menurut Al-Azhari. Menurut Ibnu Arabi, walimah pada asalnya bermakna sempurnanya sesuatu dan diadakan lantaran sesuatu kegembiraan, sebagaimana dipakai untuk walimah urs (jamuan perkawinan), tanpa disebut kaitannya. Untuk walimah-walimah yang lain disebut dengan hajatnya, contohnya pada penyebutan walimah khitan. Menurut Ibnu Atsir, walimah hanya khusus bagi perjamuan yang dilakukan berkenaan dengan nikah saja. Dan dapat dikatakan, bahwasanya walimah menurut bahasa, hanyalah walimah urs saja. Menurut syara, segala jamuan disyari’atkan. Didalam Al-Qamus diterangkan, bahwasanya walimah, ialah jamuan yang diadakan karena perkawinan atau acara yang diadakan dengan mengundang orang untuk menghadirinya.[14]

v  Macam-macam Walimah
Walimah sebagai yang diterangkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dan An-Nawawy ada delapan macam:
a.       I’dzhar, yaitu walimah khitan
b.      Aqiqah, yaitu walimah karena kelahiran anak, yang diadakan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.
c.       Khurs, yaitu walimah karena istri selamat dalam bersalin atau jamuan di hari anak dilahirkan.
d.      Naqi’ah, yaitu walimah karena seseorang kembali dari shafar.
e.       Wakirah, yaitu walimah karena memasuki rumah baru.
f.       Wadhimah, yaitu jamuan yang dibuat lantaran terhindar dari bencana.
g.      Ma’dubah, yaitu walimah yang tidak berdasarkan suatu sebab khusus.
h.      Walimatul Imlak, yaitu walimah yang diadakan di waktu akad nikah. Dan dapat juga dikatakan Walimatul Dukhul, yaitu walimah yang diadakan sesudah persetubuhan.
Selain dari pada itu ada lagi walimah yang dinamakan “Ihdzaq, yaitu jamuan yang diadakan ketika anak telah menamatkan  Al-Qur’an, atau ketika anak telah dapat mengerjakan sesuatu perbuatan yang berguna dan menampakkan kecakapannya. Menurut Ibnur Rif’ah, walimah ihdzaq, ialah jamuan yang diadakan diwaktu khatam Al-Qur’an. Menurut Al-Muhamily, diantara walimah adalah atirah, yaitu sembelihan yang dilakukan pada awal bulan Rajab. Dan diantaranya pula ialah yang dinamakan tuhfatuz Zaa-‘ir, yaitu jamuan yang disediakan untuk seorang tamu.[15]




v  Hukum Menyelenggarakan Walimah
Dalam kegiatan berbahagia, para Ulama sepakat dengan pentingnya penyelenggarakaan walimah. Namun dalam hal ini fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Diriwayatkan oleh Al-Qurthuby dari Malik, bahwasanya walimah itu wajib. Dalam pada itu yang masyhur dalam madzab Maliki, walimah itu sunnah. Adapula diriwayatkan dari Ibnu Hazm dari Ahluzh Zhahir, bahwa wajib hukumnya. Demikianlah menurut lahir nash Asy-Syafi’i dalam Al-Umm. Jumhur Ulama menyunahkan walimah nikah, tidak mewajibkan. Ibnu Baththal berpendapat, bahwa Walimah adalah suatu keutamaan, karena walimah adalah suatu jamuan yang dilahirkan untuk melahirkan kegembiraan.[16]

v  Hukum memenuhi undangan walimah
Ibnu Umar ra. telah menceritakan hadits berikut, bahwa Nabi saw. pernah bersabda: “Jika seseorang diantara kalian diundang ke suatu walimah maka hendaklah ia mendatanginya”.(Riwayat Khomsah). Menurut Riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari menyebutkan, “Lepaskanlah tawanan, penuhilah undangan, dan jenguklah oleh kalian orang-orang sakit.” Hadits tersebut mengandung perintah yang makna lahiriahnya sama dengan nash-nash berikutnya, yaitu wajib memenuhi undangan walimah secara mutlak.[17]
Ibnu Umar ra. menerangkan bahwa “Nabi saw. bersabda: Penuhilah undangan walimah bila kamu diundang untuk menghadirinya, dan Ibnu Umar mendatangi walimah walimah perkawinan dan yang bukan perkawinan, walaupun beliau berpuasa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim; Al Muntaqa 2:550). Adapula dalam satu hadits, Abu Hurairah menerangkan “Rasulullah saw. bersabda : Apabila seseorang kamu diundang (kepada walimah), penuhilah undangan itu. Tetapi jika ia berpuasa, maka hendaklah ia berdoa saja. Dan jika tidak berpuasa, hendaklah dia makan.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud; Al-Muntaqa 2:551)[18]
Ibnu Abdil Bar dan Al-Qadhi ‘Iyadh serta An-Nawawy menerangkan bahwa semua ulama mewajibkan kita memenuhi undangan walimah ‘urs. Tetapi menurut ‘Al-Hafizh, walimah yang wajib dipenuhi undangannya, hanyalah walimah nikah. Ubaidilah ibn Al-Hasan Al-Anbari berpendapat bahwa sebagian ulama Syafi’iyah mewajibkan kita memenuhi segala undangan walimah, baik walimah nikah maupun bukan. Golongan Malikiyah, Hanafiyah, Hanbaliyah, dan Jumhur Syafi’iyah tidak mewajibkan kita memenuhi undangan yang selain dari walimah nikah. Namun dalam kitab fatkhul baari diterangkan bahwa hukum sedekah walimah atas pengantin adalah sunnah, dan hukum menepati undangan walimah itu wajib ain, kecuali ada udzur.[19]
Ibnu Daqiqil Id dalam Syarah Al-Ilmam berkata: Dibolehkan kita tidak memenuhi udangan walimah karena beberapa hal yaitu[20] :
a.       Adanya syabhat  pada makanan yang dihidangkan.
b.      Undangan hanya di khususkan bagi orang-orang kaya saja.
c.       Bila saat kita datang, hanya akan menimbulkan kekecewaan bagi orang lain.
d.      Diundang karena megharapkan sesuatu imbalan dari kedudukan kita atau untuk menarik perhatian.
e.       Jika diketahui akan terjadi perbuatan munkar.[21]

D.    Study Kasus
Setiap daerah tentu mempunyai cara mereka masing-masing dalam menyelenggarakan pesta pernikahan sesuai adat, lingkungan dan budaya sesuai dengan yang berkembang di daerah tersebut. Begitu pula halnya dengan penyelenggaraan pesta pernikahan di Pekalongan (termasuk beberapa wilayah di Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang). Meskipun secara detail, di beberapa daerah yang termasuk eks Karesidenan Pekalongan terdapat perbedaan, namun secara garis besar, wilayah ini mempunyai kesamaan di dalam prosesi jalannya pernikahan. Terlebih setelah prosesi peminangan, seserahan, dan setelah itu mulai dipasang tenda, sound (di area kediaman) dan janur kuning (didepan gang). Yang terjadi pada umumnya adalah :
a.       Hari Pertama. Biasanya mulailah berdatangan tamu undangan sesuai dengan waktu yang mereka kehendaki (untuk ibu-ibu) sering dikenal kondangan Ibu-ibu atau dalam bahasa dialek pekalongan sering dikenal dengan “nyumbang”.
b.      Masih di hari pertama, namun malam harinya, (sebelum jalannya akad nikah di keesokan hari), diadakan jamuan bagi para undangan calon mempelai pengantin (biasanya diadakan di masing-masing kediaman mempelai pria maupun wanita) atau yang umumnya di kenal dalam istilah dialek pekalongan  .
c.        Hari Kedua. Pagi (sebelum akad nikah)  atau sore (sesudah akad nikah) nya, biasanya diadakan “ngambeng”.
d.      Hari Kedua. Prosesi akad nikah, biasanya dilakukan pagi, di lakukan di Kediaman mempelai wanita.
e.       Resepsi Pernikahan
Opsi pertama, biasanya Malam harinya di adakan Resepsi Pernikahan (masih termasuk ke dalam hari kedua) sambil mengiring mempelai pria ke kediaman mempelai wanita. Biasa dikenal dengan “iring-iring” dirumah mempelai wanita.
Opsi kedua, Resepsi dilakukan di hari ketiga biasanya dimulai pukul 10.00 pagi hingga pukul 14.00 siang. Biasanya di gelar dengan mempercayakannya pada Wedding Organizer di gedung Resepsi, atau juga di rumah mempelai wanita.
Jika di cermati, rangkaian prosesi tersebut sangatlah panjang dan juga tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Padahal, dalam pesta pernikahan, yang diutamakan adalah Walimah. Lalu, dimanakah letak walimah yang sesungguhnya menurut rangkaian prosesi pernikahan adat lokal Pekalongan dalam pandangan islam? Inilah solusi pemecahannya.
Al Hafizh dalam Fatkhul Baari berkata: “Para Ulama Salaf berbeda pendapat tentang waktu mengadakan walimah. Apakah di kala akad, atau sesudah akad, atau ketika akan dukhul, atau sesudah dukhul, atau antara akad dengan dukhul”.
Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh, pendapat yang dipandang lebih sah adalah menurut pandangan madzhab Malikiyah, yaitu sesudah dukhul. Segolongan mereka mengatakan di waktu akad. Diterangkan oleh As-Subky, bahwa menurut kenyataan sejarah Nabi saw. mengadakannya sesudah dukhul.[22] Jika ditarik kesimpulan, maka intinya walimah diselenggarakan saat akad hingga setelah akad sesudah dukhul atau antara akad dengan dukhul. Maka, yang termasuk walimah perkawinan dalam rangkaian prosesi pernikahan adat lokal pekalongan ini adalah “ngambeng” (namun tidak termasuk ketika dilaksanakan sebelum akad nikah), akad nikah, dan “iring-iring” atau Resepsi Pernikahan.
Hal lain yang sering menjadi permasalahan, karena dianggap sering menyimpang dalam segi penyelenggaraan walimah menurut pandangan Islam, adalah ketika dalam penyelenggaraan Resepsi pernikahan. Ada beberapa permasalahan yang sering kita jumpai dalam lingkungan masyarakat, diantaranya adalah:
1.      Mayoritas mengundang penyanyi dangdut/ orkesta musik dimana dalam penampilannya, penyanyi dangdut ini sering kurang mengedepankan adab dan sopan santun dalam berbusana.
Muhammad ibn Hathib menerangkan “Rasulullah saw. bersabda : “Pemisahan yang halal dengan yang haram, ialah pemukulan rebana dan suara nyanyian di dalam pernikahan”” (HR. Ahmad, At Turmudzy dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 2:556)[23]. Jika merujuk hadits tersebut, maka dibolehkan mengadakan hiburan berupa musik namunm nyanyiannya harus berupa nyanyian yang mengantarkan kita untuk selalu mengingat Allah swt. maupun shalawat kepada Baginda Nabi Agung Muhammad saw. dan tentunya, penyanyinya harus menggunakan pakaian yang pantas dan layak, tidak ketat, dan tidak boleh membuka aurat. Namun, menurut pemakalah, alangkah lebih baiknya mengundang Grub rebana, Kasidah atau penyanyi religi.
Tips bagi tamu undangan, ketika didalam resepsi ada hiburan yang didalamnya terdapat wanita yang membuka aurat, boleh untuk tidak hadir, karena dalam Kitab Bajury diterangkan bahwa salah satu bentuk kemungkaran yang menjadi uzur dibolehkannya tamu undangan untuk tidak menghadiri resepsi tersebut adalah karena adanya wanita yang membuka aurat. Namun jika bersama istri, lebih baik hanya istri yang masuk.
2.      Dalam penyelenggaraan waktu resepsi pernikahan, biasanya berlangsung dari pukul 10.00 wib hingga 14.00 wib. Padahal di dalam waktu tersebut ada waktu shalat dhuhur.
Walaupun secara nalar jarang kita sadari, namun hal ini ternyata sangat betentangan dengan anjuran islam. Apalagi ditambah waktu untuk persiapan berdandan. Dari pemakalah hanya bias menyarankan, lakukanlah resepsi pernikahan tersebut pada Pagi pukul 08.00-12.00 wib, waktu dandan dimulai setelah shalat subuh. Atau bias malam hari yaitu pukul 20.00-22.00, karena waktu dandan dimulai setelah shalat maghrib, namun pastikan wudhu tidak batal hingga awal isya’.
3.      Lebih sering makan dalam keadaan berdiri. Padahal adab makan dan minum haruslah sambil duduk.
Kadang, dalam menyewa gedung, tidak memastikan kapasitas bangku untuk tamu undangan. Seharusnya bangku disesuaikan dengan kuantitas tamu undangan. Perlu kebijakan sendiri dalam hal ini. Terlebih, biasanya tamu undangan mengajak pasangan, suami/istri, bahkan anaknya untuk menghadiri Resepsi pernikahan, Namun hal ini adalah upaya dari pihak mempelai pengantin. Karena jika kapasitas kursi telah berlebih nanum tamu undangan tetap menikmati hidangan dalam keadaan berdiri, maka hal ini dikembalikan lagi pada pribadi masing-masing.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan singkat yang telah disampaikan, maka dapat disimpulkan bahwa:
v  Hadits-hadits yang menerangkan peristiwa walimah diatas, menerangkan bahwa syari’at menyunatkan kita mengadakan walimah.
v  Walimah harus diadakan sesuai batas kemampuan.
v  Beberapa ulama berpendapat, ada yang berpendapat, bahwa Walimah diadakan bersamaan ketika akad, adapula setelah dukhul, adapula waktu diantara akad dan dukhul.
v  Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib.
v  Beberapa hikmah dari penyelenggaraan walimah :
-          Pengungkapan rasa syukur kepada Allah swt dan Nabi Muhammad saw atas kebahagiaan yang dirasakan.
-          Sodaqoh dan terutama membantu bagi kaum fakir.
-          Meningkatkan rasa persaudaraan sesama muslim.
-          Mengikrarkan bahwa sepasang suami istri telah resmi bersatu sesuai syar’iat islam.
-          Jika tidak menyelenggarakan walimah karena keterbatasan tertentu, maka tidak menggugurkan pernikahan itu sendiri.
-          dll



DAFTAR PUSTAKA

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Ringkasan Shahih Bukhari Jilid IV terjemahan Mukhtashar Shahih Al Imam Al Bukhari. Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar. 2008.Fatkhul Baari Jilid 25 Cet.1. Jakarta : Pustaka Azzam.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi . 1977. 2002 Mutiara Hadits Jilid V . Jakarta : Bulan Bintang.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2011.  Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 4. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Az-Zabidi , Imam. 2004. Ringkasan Shahih Al-Bukhari, terjemahan Al-Tajrid Al-Shahih Li Al-Hadits Al-Jami’ Al-Shahih. Bandung : Mizan.
Bahreisy, Salim. 1992. Tarjamah Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkam terjemah dari Bulughul Maraam Min Adilatil Ahkam. Surabaya : Balai Buku.
Nashif, Syekh Manshur Ali. 1993. Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW  Jilid II. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Razak,  A. dan Rais Lathief. 1980. Terjemahan Hadis Shahih Muslim Jilid II. Jakarta : Pustaka Al Husna.
Usman, Achmad . 1996. Hadits Ahkam .Surabaya : Al-Ikhlas.









[1]  Syekh Manshur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm. 918-919.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 4 (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm.105.
[3] Salim Bahreisy, Tarjamah Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkam terjemah dari Bulughul Maraam Min Adilatil Ahkam(Surabaya : Balai Buku, 1992 ), hlm. 526.
[4] Achmad Usman, Hadits Ahkam (Surabaya : Al-Ikhlas, 1996), hlm.166
[5] Syekh Manshur Ali Nashif, op.cit., hlm.927.
[6] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, terjemahan Al-Tajrid Al-Shahih Li Al-Hadits Al-Jami’ Al-Shahih (Bandung : Mizan,2004), hlm. 792.
[7] A. Razak dan Rais Lathief, Terjemahan Hadis Shahih Muslim Jilid II (Jakarta : Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 176-177
[8] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Bukhari Jilid IV terjemahan Mukhtashar Shahih Al Imam Al Bukhari (Jakarta : Pustaka Azzam, 2001), hlm. 781.
[9] A. Razak dan Rais Lathief, loc.cit.
[10] Imam Az-Zabidi, loc,cit.
[11] Salim Bahreisy, loc.cit.
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit,. hlm. 101.
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits Jilid V (Jakarta : Bulan Bintang,1977), hlm. 221.
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit,. hlm. 103

[15] Ibid.
[16] Ibid, hlm. 104
[17] Syekh Manshur Ali Nashif, loc.cit.
[18] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit,. hlm. 105
[19] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatkhul Baari Jilid 25 Cet.1 (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008) hlm 143.
[20] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit,. hlm. 106.
[21] Syekh Manshur Ali Nashif, op.cit,. hlm. 931.
[22] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit,. hlm. 104
[23] Ibid,.

Komentar