Iqbal kamalludin
Mahasiswa dan Negara
Indonesia saat ini, membutuhkan banyak
voluntaire, dimana mahasiswa menjadi peranan terpenting, dimana sudah tidak
banyak mahasiswa yang disiapkan menjadi kaum “negarawan”, malah banyak yang
sekarang disiapkan menjadi politikus. Mahasiswa sebagai penerus bangsa,
penggerak roda kehidupan Negara, di masa yang akan datang, diharuskan
benar-benar memahami dan merenungi nilai-nilai pancasila. Tak boleh bosan untuk
bergerak, jangan sampai mahasiswa akhirnya lelah dan tak ada artinya dalam
merubah nasib bangsa.
Inilah pentingnya peranan Negarawan, dimana
mahasiswa saat ini adalah calon-calon Negarawan Sejati yang mampu mengemban
kebenaran dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Mampu bermasyarakat,
beretika dan berperan aktif dalam roda perputaran Negara yang terus digerus dan
diberondong habis oleh kaum-kaum non-indonesia yang berkedok Indonesia. Tak
boleh menyia-nyiakan hasil kerja keras para pejuang bangsa di masa penjajahan.
Kita, mahasiswa adalah pejuang era pra-reformasi dimana penjajahnya adalah di
dalam Negara kita sendiri.
Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik
untuk mendasari suatu sikap mental atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak
dan tanggung jawab seseorang akademisi adalah hak dan tanggung jawab seorang
akademisi. Hak dan tanggung jawab itu terikat pada susila akademik, yaitu
sebagai berikut:
a.
Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai
keinginan untuk mngetahui hal-hal baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
tidak mengenal titik henti yang dampak dan pengaruhnya dengan sendirinya juga
terhadap pengembangan etika.
b.
Wawasan, luas dan mendalam, dalam arti bahwa
nilai-nilai etika sebagai norma dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara tidak telepas dari unsure-unsur budaya yang hidup dan berkembang
dengan cirri-ciri khas yang membedakan bangsa itu sendiri dari bangsa lain.
c.
Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran
ilmiah adalah sesuatu yang tentative bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu
yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat,
yang implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika tidak hanya tekstual melainkan
juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai dengan kondisi actual yang
berkembang dalam masyarakat.
d.
Open mindedness, dalam arti rela dan dengan
rendah hati (modest) bersedia untuk menerima kritik dari pihak lain terhadap
pendirian atau sikap intelektualnya.
e.
Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber
atau informasi yang diperoleh dari pihak lain dalam mendukung sikap atau
pendapatnya.
f.
Independen, dalam arti bertanggung jawab atas
sikap dan pendapatnya, bebas dari tekanan “atau kehendak yang dipesankan” oleh
siapapun dan dari manapun
Pancasila sebagai core philosophy bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga memahami etika yang
sarat dengan nilai-nilai filsafati, jika tidak dilandasi dengan pemahaman
segi-segi filsafatinya, maka yang kita tangkap hanyalah segi-segi fenomenalnya
saja tanpa menyentuh inti hakikinya.[1]
Logika Pembangunan Dan Pembinaan Pemuda
Pembinaan pemerintah terhadap kaum muda
didasarkan pada gagasan yang oleh seorang arsitek politik Orde Baru disebut “profesionalisasi
dan fungsionalisasi kegiatan pemuda”. Inilah yang mendasari pelembagaan
kegiatan kepemudaan dalam dua jalur, yaitu jalur “intra sekolah” dan jalur
“ekstra sekolah”. Kegiatan bagi pemuda yang berada dalam lembaga pendidikan
tinggi didasarkan pada pengaturan yang menekankan wawasan almamater berwujud
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Suatu mekanisme yang pada kenyataannya tidak
dikelola secara otonom oleh mahasiswa.[2]
Peranan Mahasiswa Dalam Pembangunan, Baik
Dalam Perubahan Sosial Maupun Modernisasi
Penting untuk diperhatikan, walaupun mahasiswa
dapat menjadi katalisator pada kegiatan politik, tetapi jarang sekali mahasiswa
dapat mendukung suatu revolusi sampai pada ujung penyelesaiannya. Revolusi yang
dimulai oleh mahasiswa harus ditampung dan diselesaikan oleh lembaga sosial
lain yang lebih mapan.
Hal ini bukan disebabkan karena mahasiswa
kurang mampu atau cerdas. Kita perlu memahami karena kemahasiswaan itu sendiri
bersifat transitoir, bukan merupakan profesi atau okupasi yang menjadi bidang
pengabdian seumur hidup. Kemahasiswaan adalah suatu jembatan menuju sesuatu
profesi dan okupasi. Orang yang sama akan mendapat kepribadian yang lain
setelah ia tamat dari studinya dan kemudian bergabung kepada profesi tertentu.
Profesi dan okupasi sosial inilah yang memberikan kemantapan kepada masyarakat.
Dalam Negara ini, kita yang sedang membangun
ini, di mana hampir 40% rakyat kita
masih belum terbebas dari tiga B, status sebagai mahasiswa adalah status yang
tinggi, yang merupakan sub elite bagi masyarakat. Tugas sosial lainnya sebagai
unsur modernisasi (agent of modernization) adalah tugas yang tak kurang
pentingnya.
Langkah pertama dalam pembahasan peranan
mahasiswa sebagai unsur modernisasi ini adalah kesadaran, bahwa bangsa kita
masih banyak mengalami keterbelakangan di segala bidang. Modernisasi ini
berarti perubahan kea rah yang lebih baik. Pengalaman menunjukkan bahwa merubah
suatu masyarakat memerlukan terlebih dahulu suatu pemahaman dari system nilai
sosial budaya yang mendalam. Walaupun terdengar paradoksal, namun merupakan
suatu kenyataan bahwa modernisasi harus berakar pada tradisi bangsa yang telah
kokoh kuat, yang merupakan sumber motivasi dari setiap langkah yang menyangkut
bangsa. Jepang adalah suatu contoh yang klasik dari modernisasi yang berhasil
dengan menggunakan tradisi Shinto yang amat kokoh.
Dengan demikian peranan sebagai modernisator ini memerlukan
suatu “literature sejarah” ialah kesadaran sejauh dari bangsa sendiri. Adalah
tidak benar, bahwa modernisasi hanyalah memerlukan import teknologi belaka.
Teknologi yang diimport tanpa dukungan sosial yang serasi akan menjadi barang
rongsokan tanpa guna. Pembinaan dukungan sosial inilah salah satu langkah
strategis yang dapat dilakukan para mahasiswa, antara lain dengan mendidik
sebagian besar rakyat kita dipedesaan dengan pandangan baru.
Program pemerintah yang memanfaatkan tenaga
mahasiswa maupun para sarjana, untuk pembangunan daerah pedesaan lewat program
Kuliah Kerja Nyata (KKN) ternyata telah berhasil baik. Program ini yang dibiayai
dari APBN maupun APBD dalam rangka Pelita telah banyak menunjukkan manfaatnya.
Namun setelah para mahasiswa ini menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sarjana,
minat untuk kerja nyata di desa menjadi menurun. Mengapa hal ini terjadi?
Jawabannya terletak pada posisi sosiologis dari mahasiswa kita secara
menyeluruh.
Kita melihat bahwa sistim pendidikan orientasi
dunia pendidikan merupakan lalu lintas satu arah, yaitu menuju ke kota. Suatu
penelitian yang pernah diadakan oleh sebuah universitas di Luar Jawa menunjukkan
bahwa, walaupun lebih dari setengah dari para mahasiswa berasal dari kalangan
petani dan pedagang, namun lebih dari
84% menjawab ingin menjadi pegawai negeri setelah tamat. Hal ini tidak
lain merupakan ujud dari orientasi kota dari kalangan mahasiswa, khususnya pada
universitas tersebut. [3]
Dari waktu ke waktu kita menyaksikan turunnya
para mahasiswa ke desa dalam rangka KKN. Dalam kesempatan seperti ini,
bertemulah berbagai unsure kemahasiswaan kita, baik yang mempunyai role image
sebagai intelektual maupun yang mempunyai role image sebagai professional
menghadapi masalah yang sama: yaitu pembentukan hari depan yang dihayati
bersama. Pengalaman ini banyak membentuk sikap mahasiswa kita yang akan
berpengaruh kelak dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Namun, kini hal
tersebut hanyalah sekedar formalitas yang tak member substansi besar bagi
perubahan bermasyarakat di lingkungan yang sesungguhnya.
[1]
Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila: Implementasi Nilai-nilai Karakter
Bangsa di Perguruan Tinggi (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012), hlm
12.
[2]
Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi (Yoryakarta: Pustaka
Pelajar, 1994) hlm 103.
[3]
Mohammad Djazman Al-Kindi, Akbar Tanjung, dkk, Mahasiswa dan Masa Depan
Politik Indonesia (Yogyakarta: PSIP DPP IMM, 1993), hlm 82-86.
Komentar
Posting Komentar