makalah Iddah dan Ihdad



MAKALAH
IDDAH & IHDAD
Disusun guna memenuhi tugas kelompok :
                                    Mata Kuliah                : Fiqh Munakahat II
Dosen Pengampu        : M. Masrur, M.Si




Disusun Oleh :
1.      Widyastuti                  (2011112045)
2.      Kus Indriyani              (2011112050)
3.      Iqbal Kamalludin        (2011112054)


AKHWALUS SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam memiliki banyak ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, salah satunya fiqh munakahat. Dalam fiqh munakahat materi-materinya diambil dari Al - Qur’an Al – Karim, sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah saw yang menjelaskan Al – Qur’an dan menerangkan maksud-maksudnya, itulah yang dikenal dengan As-Sunnah. Selain itu Fiqh munakahat juga mengambil materi dari pendapat para fuqaha. Pendapat-pendapat itu meskipun bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah tetapi itu merupakan hasil pemikiran yang telah tepengaruh oleh pengaruh yang berbeda sesuai dengan masa yang di alami dan pembawaan-pembawaan jiwa (naluri) bagi setiap fuqaha.
Pada diskusi yang lalu, kita telah mempelajari tentang Fiqh Munakahat I , untuk melengkapinya, pada diskusi ini kita akan mempelajari tentang Fiqh Munakahat II dengan materi Iddah dan Ihdad. Untuk mempelajari Iddah dan Ihdad, harus diketahui terlebih dahulu yang melatar belakangi adanya Iddah dan Ihdad. Oleh karena itu, memahami Iddah dan Ihdad dengan mengetahui latar belakang adanya Iddah dan Ihdad menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahaminya.
Dengan demikian, mempelajari Fiqh Munakahat II dengan materi Iddah dan Ihdad  berarti melanjutkan langkah pertama dalam mempelajari seluruh materi yang ada pada Fiqh Munakahat. Diantara kegunaan mempelajari Fiqh Munakahat adalah agar kita dapat melahirkan hidup toleran dan saling menghargai antara suami-istri didalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah wa barokah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Iddah dan Ihdad itu?
2.      Apa perbedaan Iddah dan Ihdad ?
3.      Berapa lama waktu Iddah ?
4.      Berapa lama waktu Ihdad ?
5.      Apa saja macam-macam Iddah ?
6.      Hal apa saja yang dilarang dalam menjalankan masa Iddah dan Ihdad ?
7.      Apa Hikmah dari adanya hukum Iddah dan Ihdad ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Iddah dan Ihdad
2.      Untuk mengetahui perbedaan Iddah dan Ihdad
3.      Untuk mengetahui lama waktu Iddah
4.      Untuk mengetahui lama waktu Ihdad
5.      Untuk mengetahui macam-macam Iddah
6.      Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dilarang dalam masa Iddah dan Ihdad
7.      Untuk mengetahui hikmah dari adanya Iddah dan Ihdad


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Iddah berasal dari bahasa arab yang berasal dari akar kata adda – ya’uddu – ‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad  yang secara etimologi berarti “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu dan masa bersihnya.[1]
Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya.[2]
Jadi iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup ataupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan menjadi anak, maka dalam waktu beriddah itu akan terlihat tandanya. Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. Andai kata ia menikah dalam masa beriddah, tentu dalam rahimnya akan tercampur dua sel dan di takutkan ketika lahir seorang anak, anak itu tidak tentu siapa ayahnya (anak syubhat) dan pernikahannya tidak sah.
Secara etimologi ihdad berarti menahan atau menjauhi. Secara definitive, sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fiqh, adalah menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”. Pembicaraan disini menyangkut untuk siapa dia berbuat, kenapa dia berbuat, apa yang tidak boleh dia perbuat dan hukum berbuat.
Yang dimaksud dengan Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari, dengan larangan-larangannya antara lain : bercelak mata, berhias diri, keluar rumah (kecuali dalam keadaan terpaksa).
Mengenai untuk siapa dia melakukan ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihdad hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dunia dalam masa perkawinannya dan tidak berlaku untuk lainnya.
Tentang kenapa dia harus berkabung, menjadi bahasan di kalangan ulama. Hal yang disepakati adalah, bahwa ihdad atau berkabung hanya berlaku terhadap perempuan yang bercerai dari suaminya karena kematian suaminya. Inilah maksud semula dari ditetapkannya berkabung dalam islaam. Tujuannya ialah untuk menghormati dan mengenang suaminya yang meninggal.

B.     Hukum Iddah
Iddah wajib bagi seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kematian maupun cerai karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasannya adalah firman Allah SWT :
Orang-orang yang meniggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan istri-istri, maka hendaklah para istri itu menanguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (Q.S. Al Baqarah 234)
Dalam firman-Nya yang lain,
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka, berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Q.S. Al Ahzab 49)[3]
C.    Dasar Hukum
Yang menjalani iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, bukan laki-laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang dalam masa hamil atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu. [4]
Iddah sudah dikenal juga pada masa jahiliyah. Mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah. Kemudian ketika islam datang, kemudian kebiasaan itu diakui dan terus dilestarikan karena ada beberapa kebaikan didalamnya. Para ulama sepakat bahwa iddah itu wajib hukumnya. Karena Allah swt berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 228 :


àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ...

Juga sabda Nabi SAW kepada Hatimah binti Qais:
اِعْتَدِ ىْ فِى بَيْتِ اُمِّ كُلْثُوْمٍ
Artinya :  Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kulsum…”

Mengenai Ihdad (berkabung) dan permasalahannya, Ibn Rusyd menjelaskan sebagai berikut:
Kaum muslimin telah sepakat bahwa ihdad wajib hukumnya atas wanita muslimah yang merdeka dalam iddah kematian suami, kecuali Al-Hasan yang berbeda pendapatnya. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai wanita-wanita selain itu, mengenai selain iddah kematian suami, serta mengenai hal-hal dilarang bagi wanita yang sedang berihdad dan hal-hal yang dibolehkan untuknya. [5]
Imam Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
Mengenai hamba perempuan yang ditinggal mati oleh tuannya, baik ia sebagai ummul walad (hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan, maka menurut Imam Malik tidak wajib ihdad atasnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh para fuqaha’ amshar (fuqaha negeri-negeri besar).
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada ihdad atas wanita yang masih kecil dan wanita ahli kitab.
Segolong fuqaha’ berpendapat bahwasanya tidak ada ihdad atas hamba perempuan yang telah dikawini oleh tuannya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah.
Demikianlah silang pendapat fuqaha’ yang terkenal berkenaan dengan wanita-wanita yang wajib berihdad di antara berbagai macam istri, dan wanita-wanita yang tidak wajib berihdad.
Mengenai silang pendapat fuqaha’ berkenaan dengan masalah ihdad maka Imam         Malik berpendapat bahwa tidak ada ihdad, kecuali pada iddah kematian suami. Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa ihdad pada iddah karena talak ba’in wajib hukumnya.
Demikian halnya Imam Syafi’i, maka ia hanya menganggap berihdad bagi wanita yang ditalak, tetapi ia tidak mewajibkannya.
Hal-hal yang dilarang dan yang dibolehkan bagi orang yang berihdad:
Para fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik laki-laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan cela, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam. Karena Imam Malik tidak memakruhkan pakaian berwarna hitam bagi wanita yang sedang berihdad.
Mereka semua memberikan kemurahan (rukhshah) dengan membolehkan pemakaian celak karena terpaksa (misalnya, karena sakit mata).
Mengenai pemakaian celak ini, sebagian fuqaha’ mempersyaratkan bahwa hendaknya hal itu bukan sebagai perhiasan, sedangkan sebagian lainnya tidak mempersyaratkan demikian. Sementara segolongan lainnya mempersyaratkan pemakaiannya di malam hari, bukan di siang hari.
Ringkasnya, pendapat para fuqaha’ berkenaan dengan hal-hal yang harus dijauhi oleh wanita yang berihdad adalah saling berdekatan. Dan pada prinsipnya adalah semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.
Yang mendorong jumhur fuqaha’ untuk mewajibkan ihdad, secara garis besar didasarkan atas sahihnya hadits yang berkenaan dengan masalah ini dari Rasulullah Saw, antara lain ialah hadits Ummu Salamah ra, istri Nabi Saw, sebagai berikut: “Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit pada kedua matanya, bolehkah ia mencelakai kedua matanya? Rasulullah menjawab: Tidak boleh (2x) atau 3 (x) yang pada masing-masingnya beliau menyatakan tidak boleh. Kemudian beliau berkata: Sesungguhnya iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, dan sesungguhnya dahulu ada seorang diantara kamu yang berihdad selama satu tahun penuh.[6]
Abu Muhammad mengatakan, berdasarkan hadits ini maka wajib bagi kita berpegang dengan pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu wajib hukumnya.
Akan halnya hadits Ummu Habibah ra, sewaktu ia meminta minyak wangi, kemudian ia mengusapkan pada dadanya, lalu berkata:
واللّهِ ماَلىِ بِهِ مِنْ حاَجَةٍ غَيْرُ أَنِّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: لاَيَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ مُؤْمِنَةٍ تُؤْ مِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ  أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَ ثِ لَيَالٍ، اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَّعَشْرًا.
Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mendengar Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, untuk berihdad atas orang mati lebih dari tiga hari, kecuali karena ditinggal mati oleh suaminya, yaitu (ihdadnya) 4 bulan 10 hari.”
Maka Hadits ini bukan merupakan hujjah karena disebutkan didalamnya merupakan pengecualian dari hal-hal yang dilarang, sehingga karenanya hadits ini memberikan pengertian kebolehan (ibahah), bukan kewajiban. Demikian pula halnya hadits Zainab binti Jahsy ra.[7]
Al-Qadhi (Ibnu Rusyd) berkata: mengenai suatu perintah yang dating sesudah larangan, maka hal ini diperselisihkan oleh para ahli kalam, yakni apakah perinta itu menunjukkan perintah wajib atau ibahah?
Silang pendapat di antara fuqaha’ yang mewajibkannya atas wanita muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha’ yang menganggap ihdah suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami maknanya), maka mereka tidak mewajibkannya atas wanita kafir, sedangkan bagi fuqaha’ yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami maknanya, yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita yang berihdad dari memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antara wanita kafir dan wanita muslimah. Sedangkan bagi fuqaha’ yang lebih mempertimbangkan segi pandangan kaum lelaki kepadanya, bukan pandangan wanita yang berihdad kepada lelaki, maka mereka memisahkan antara wanita yang masih kecil dan wanita dewasa. Karena wanita yang masih kecil itu tidak mengundang pandangan lelaki kepadanya.
Fuqaha’ yang mewajibkan ihdad atas wanita muslimah, bukan wanita kafir beralasan dengan sabda Nabi SAW; “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian untuk berihdad, kecuali karena kematian suaminya.”
Mereka mengatakan bahwa syarat untuk berihdad adalah iman, maka hal itu menunjukkan bahwa ihdad itu merupakan suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami maknanya).
      Akan halnya fuqaha’ yang memisahkan antara hamba perempuan dan wanita merdeka dan demikian pula ahli kitab, maka hal itu karena mereka menduga bahwa iddah kematian itu mewajibkan dua perkara berdasarkan kesepakatan, yaitu pertama berihdad, kedua menahan diri utnuk tidak keluar rumah. Mengingat bahwa keluar rumah itu gugur dari wanita hamba sahaya karena kesederhanaannya dan kebutuhan pemakaian tenaganya maka gugurlah larangan berhias dari padanya.
Akan halnya silang pendapat fuqaha’ mengenai hamba mukatabah (hamba perempuan yang menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu terjadi dari segi ketidakjelasan statusnya sebagai orang merdeka dan sebagai budak.
Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya karena adanya sabda Rasulullah SAW:
لاَ يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْ مِنُ بِا للهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ أَنْ تَحِدَّ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ
Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian untuk berihdad, kecuali karena kematian suaminya.”
Maka dapat dipahami dengan dalill khitab, bahwa bagi wanita yang tidak mempunyai suami tidak ada kewajiban ihdad atasnya, sedangkan bagi fuqaha’ yang mewajibkannya atas wanita yang ditalak, maka mereka berpegangan dengan makna lahiriah yang disebutkan di dalam hadits ini.
Bagi fuqaha’ yang mempersamakan wanita-wanita yang ditalak dengan wanita-wanita yang ditinggal mati suami, maka mereka mendasarkan pendapatnya kepada segi pemikiran (yakni mengambil pemahaman dari makna yang tersirat). Demikian itu karena tampak jelas dari pengertian ihdad bahwasanya adalah untuk mencegah pandangan kaum lelaki selama masa iddahnya, dan demikian pula untuk mencegahnya dari memandang kaum lelaki. Dan demikian itu dalam rangka menutup jalan kerusakan (sad al-dzari’ah).[8]

D.    Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, antara lain[9] :
1.      Iddah Talak
Iddah Talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan-perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain sebagai berikut :
a.)    Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga kali suci atau tiga kali haid, dan dinamakan juga tiga kali quru’.
عَنْ عَا ئِشَةَ قَا لَتْ : اُمِرَتْ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَ ثِ حِيَضٍ. رَوَا هُ ابْنُ مَا جَهْ, وَ رُ وَا تُهُ ثِقَا تٌ، لكِنَّهُ مَعْلُوْ لٌ.
Dari Aisyah, Ia berkata : Diperintah Barirah ber’iddah tiga kali haid . Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Rawi-rawinya orang-orang kepercayaan.[10]
b.)    Perempuan-perempuan yang dicampuri, dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh, dan perempuan yang sudah dalam masa menopause.
Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya adalah tiga bulan.
c.)    Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum dicampuri.
Bagi perempuan seperti ini, tidak ada iddah baginya. Allah swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyemurnakannya”.
2.      Iddah Hamil
Iddah hamil yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak. Firman Allah swt :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”(QS. At Thalaaq [65]:4)
Menurut ayat 4 surat ath-Thalaq, bahwa iddah perempuan yang mengandung ialah apabila ia melahirkan.
3.      Iddah Wafat
Iddah Wafat yaitu iddah yang terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati suaminya. Dan Iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Mengenai tempat perempuan menjalani iddah wafat, dalam sebuah hadits dijelaskan,
Furairah binti Malik berkata: “Suamiku pergi mengejar orang kafir bangsa Persia, maka dia menemukan mereka di Tharafil Qadum, lalu mereka membunuhnya (suamiku mati terbunuh). Kabar kematiannya sampai kepadaku, saat aku berada di suatu rumah, jauh dari rumah-rumah keluargaku, Maka aku datang kepada Nabi saw. lalu aku sampaikan hal itu kepada beliau, Aku berkata: “Sesungguhnya kabar kematian suamiku datang saat aku berada di suatu rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku dan suamiku tidak meninggalkan nafkah, tidak pula harta yang aku dapat pusakai, tidak ada pula tempat tinggal peninggalannya. Jikalau aku pindah kepada keluargaku dan saudara-saudaraku tentulah lebih memudahkan bagiku dalam sebagian urusanku,” Nabi saw. berkata: “Pindahlah kesana,” tetapi tatkala aku keluar ke Masjid atau kedalam bilik beliaupun memanggilku kembali, Kemudian beliau berkata: “Berdiamlah engkau dirumah yang dirumah itu engkau mengetahui bahwa suamimu telah meninggal sampai berakhirnya ‘iddah”. Berkatalah Furai’ah :”Maka aku pun ber-‘iddah di rumah itu, selama empat bulan sepuluh hari. Berkata Furai’ah: “Utsman mengirimkan orang kepadaku, lalu aku kabarkan kepadanya, maka Utsman pun berpegang kepada apa yang aku kabarkan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’y, At Turmudzi dan Ibnu Majah: Al-Muntaqa 2 : 647).[11]
4.      Iddah Wanita yang Kehilangan Suami
Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suami, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup, maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قاَ لَ : اَيُّماَ امْرَأَةٍ فَقَدَ تْ زَوْجَهاَ لَمْ نَدْرِ اَيْنَ هُوَ فَاِ نَّهاَ تَنْتَظِرُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه ملك)

Artinya :
Dari Umar r.a berkata ‘Bagi Perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun. Kemudian hendaklah dia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah.”(H.R. Malik)
5.      Iddah Perempuan yang di-Ila’
Bagi perempuan yang di-ila’, timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut.[12]
Jumhur fuqaha sendiri beralasan bahwa istri yang di-ila’adalah istri yang dicerai juga. Oleh karena itu, ia harus beriddah seperti perempuan-perempuan lain yang dicerai.
Perbedaan pendapat ini disebabkan iddah itu menggabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan. Mereka tidak memandang perlu adanya iddah baginya. Sedang fuqaha yang lebih memperhatikan segi ibadah, maka mereka mewajibkan iddah atasnya.
E.     Hikmah Iddah dan Ihdad
Perempuan yang berada dalam masa iddah, apabila iddahnya adalah iddah talak raj’i , maka suami masih berhak merujuknya kembali. Akan tetapi, apabila ia hendak menikah dengan laki-laki lain, maka ia harus menunggu sampai iddahnya habis.
Sedang dalam talak ba’in , suami tidak berhak merujuknya kembali kecuali dengan akad nikah baru apabila telah habis masa iddahnya.
Adapun hikmah adanya iddah dan ihdad adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.[13]
2.      Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3.      Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberi kesempatan demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya. [14]
4.      Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
5.      Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah dan ihdad adalah rentan waktu/ masa berpikir untuk merencanakan menikah lagi, atau tetap tanpa “suami”dalam masa berkabungnya, mengingat Sifat wanita yang cenderung mengedepankan perasaannya dan loyal terhadap pasangannya.
6.      Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah.
7.      Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.
8.      Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.
9.      Masa untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami
10.  Sebagai hukum ta’abudy.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
1.      Iddah dan Ihdad wajib hukumnya bagi wanita yang berpisah dengan suaminya
2.      Lamanya masa Iddah dan Ihdad berbeda-beda
3.      Macam-macam Iddah antar lain : Iddah Wanita yang Kehilangan Suami, Iddah Wafat, Iddah Hamil, Iddah Talak, Iddah Perempuan yang di-Ila’
4.      Hikmah dari adanya Iddah dan Ihdad adalah Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir panjang khususnya bagi wanita untuk menjaga kehormatannya dan mencegah percampuran nasab apabila di rahimnya terdapat benih dari suaminya.

Discuss Secsion
(Pertanyaan & Jawaban)
Pertanyaan
Kelompok I
1.      Jelaskan Hikmah iddah secara detail !
a.       Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
b.      Memberi kesempatan kepada suami-istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula,  jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.       Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.
d.      Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. (Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia dan diterangkan pula di dalam Buku Fiqh Sunnah Bab 8 karya Sayyid Sabiq yang diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf terbitan Al Ma’arif Bandung pada  hlm. 151)
2.      Pada zaman sekarang, untuk mengetahui masa kehamilan sudah sangatlah mudah, teknologi sudah canggih, seperti menggunakan tespect, berkaitan dengan itu, apakah waktu masa iddah masih relevan untuk hal ini? Jelaskan
Iddah sendiri, asal hukumnya adalah wajib bagi seorang istri yang bercerai dengan suaminya, baik cerai karena cerai, maupun karena faktor lain (hukum ta’abbudy) sesuai dalil yang terdapat di dalam Q.S. Al Baqarah: 234
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya : 234.  Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

[147]  Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.

dan Q.S. Al Ahzab :49

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya : 49.  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

[1225]  yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri. (Hlm 448  Syaikh Kmail Muhammad ‘Uwaidah Fiqh Wanita  Penerjemah M. Abdul Ghofar E. M Pustaka Al Kautsar Jakarta 1998.)

3.      Bagaimana iddah dan ihdadnya perempuan ahli kitab ?
Imam Abu Hanifah mewajibkan melakukan iddah bagi wanita ahli kitab yang dicerai suami yang muslim. Karena menurutnya, iddah itu merupakan hak Allah swt dan hak suami, sedangkan wanita-wanita ahli kitab dituntut syara’ yang berkaitan dengan hak-hak individu (hamba Allah). Oleh sebab itu menurutnya, demi menjaga hak suami (hak individu) dan tidak bercampurnya nasab anak yang mungkin di kandungnya, maka wanita ahli kitab tersebut diwajibkan dan dipaksa menjalani iddah. Akan tetapi, apabila wanita ahli kitab yang telah dicerai suaminya tersebut berada di Darul Harbi (Negara yang memusuhi islam), maka ulama madzhab Hanafi sepakat menyatakan bahwa wanita ahli kitab tersebut tidak wajib iddah. Keberadaan wanita itu di Darul Harbi menurut mereka menjadi penghalang untuk menerapkan iddah, karena hukum islam hanya bisa diterapkan kepada ahli kitab ketika berada di dalam Darul Islam. (Hlm 638 bab iddah Ensiklopedi Hukum Islam Ichtiar baru Van Hoeve 1997 )
Imam Malik berpendapat ada ihdad bagi wanita ahli kitab, dan hukumnya wajib.
Ibn Nafi’ dan Asyhab (dua orang diantara pengikut Imam Malik) berpendapat tidak ada ihdad bagi wanita ahli kitab.
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban ihdad bagi wanita ahli kitab.  (Hlm 303 Fiqh Munakahat Abd Rahman Ghazaly, 2003 Kencana Jakarta.)
4.      Bagaimana Iddahnya pernikahan secara syari’at ?
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, antara lain  ( Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.122-131.) :
6.      Iddah Talak
Iddah Talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan-perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain sebagai berikut :
d.)    Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga kali suci atau tiga kali haid, dan dinamakan juga tiga kali quru’.
عَنْ عَا ئِشَةَ قَا لَتْ : اُمِرَتْ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَ ثِ حِيَضٍ. رَوَا هُ ابْنُ مَا جَهْ, وَ رُ وَا تُهُ ثِقَا تٌ، لكِنَّهُ مَعْلُوْ لٌ.
Dari Aisyah, Ia berkata : Diperintah Barirah ber’iddah tiga kali haid . Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Rawi-rawinya orang-orang kepercayaan. (Ibnu Hajr al ‘Asqalani, Bulughul Maraam, terjemahan A. Hasan (Bangil: Pustaka Tamaam, 2001), hlm. 506.)
e.)    Perempuan-perempuan yang dicampuri, dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh, dan perempuan yang sudah dalam masa menopause.
Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya adalah tiga bulan.
f.)     Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum dicampuri.
Bagi perempuan seperti ini, tidak ada iddah baginya. Allah swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyemurnakannya”.

7.      Iddah Hamil
Iddah hamil yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak. Firman Allah swt :
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”(QS. At Thalaaq [65]:4)
Menurut ayat 4 surat ath-Thalaq, bahwa iddah perempuan yang mengandung ialah apabila ia melahirkan.
8.      Iddah Wafat
Iddah Wafat yaitu iddah yang terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati suaminya. Dan Iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Mengenai tempat perempuan menjalani iddah wafat, dalam sebuah hadits dijelaskan,
Furairah binti Malik berkata: “Suamiku pergi mengejar orang kafir bangsa Persia, maka dia menemukan mereka di Tharafil Qadum, lalu mereka membunuhnya (suamiku mati terbunuh). Kabar kematiannya sampai kepadaku, saat aku berada di suatu rumah, jauh dari rumah-rumah keluargaku, Maka aku datang kepada Nabi saw. lalu aku sampaikan hal itu kepada beliau, Aku berkata: “Sesungguhnya kabar kematian suamiku datang saat aku berada di suatu rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku dan suamiku tidak meninggalkan nafkah, tidak pula harta yang aku dapat pusakai, tidak ada pula tempat tinggal peninggalannya. Jikalau aku pindah kepada keluargaku dan saudara-saudaraku tentulah lebih memudahkan bagiku dalam sebagian urusanku,” Nabi saw. berkata: “Pindahlah kesana,” tetapi tatkala aku keluar ke Masjid atau kedalam bilik beliaupun memanggilku kembali, Kemudian beliau berkata: “Berdiamlah engkau dirumah yang dirumah itu engkau mengetahui bahwa suamimu telah meninggal sampai berakhirnya ‘iddah”. Berkatalah Furai’ah :”Maka aku pun ber-‘iddah di rumah itu, selama empat bulan sepuluh hari. Berkata Furai’ah: “Utsman mengirimkan orang kepadaku, lalu aku kabarkan kepadanya, maka Utsman pun berpegang kepada apa yang aku kabarkan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’y, At Turmudzi dan Ibnu Majah: Al-Muntaqa 2 : 647)( Ibnu Hajr al ‘Asqalani, Bulughul Maraam, terjemahan A. Hasan (Bangil: Pustaka Tamaam, 2001), hlm. 506.)
9.      Iddah Wanita yang Kehilangan Suami
Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suami, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup, maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قاَ لَ : اَيُّماَ امْرَأَةٍ فَقَدَ تْ زَوْجَهاَ لَمْ نَدْرِ اَيْنَ هُوَ فَاِ نَّهاَ تَنْتَظِرُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه ملك)

Artinya :
Dari Umar r.a berkata ‘Bagi Perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana dia berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun. Kemudian hendaklah dia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah.”(H.R. Malik)
10.  Iddah Perempuan yang di-Ila’
Bagi perempuan yang di-ila’, timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut.
Jumhur fuqaha sendiri beralasan bahwa istri yang di-ila’adalah istri yang dicerai juga. Oleh karena itu, ia harus beriddah seperti perempuan-perempuan lain yang dicerai.
Perbedaan pendapat ini disebabkan iddah itu menggabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan. Mereka tidak memandang perlu adanya iddah baginya. Sedang fuqaha yang lebih memperhatikan segi ibadah, maka mereka mewajibkan iddah atasnya.
Kelompok II
1.      Adakah persamaan antara iddah dan ihdad? Ada
2.      Apa persamaan dan perbedaan iddah dan ihdad? Sama-sama masa menunggu bagi seorang istri yang dicerai oleh suaminya baik cerai mati, maupun cerai hidup.
3.      Bagaimana jika seorang istri bercerai kemudian kedokter untuk mengosongkan rahimnya, apakah iddahnya sesuai dengan ketentuan syara’? iya, masih tetap.
Kelompok III
1.      Apa saja ketentuan-ketentuan iddah itu? Ketentuannya yaitu setelah istri ditalak oleh suaminya.
2.      Apakah iddah itu membatasi segalanya terutama didalam hubungan sosial? Tidak, karena seorang istri yang masih dalam masa iddah masih bisa melakukan aktivitas sosial selagi hal tersebut tidak melanggar hal-hal yang dilarang dalam masa iddah.
3.      Apakah ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai batasan waktu iddah?
-          Pendapat seluruh ulama madzhab: ‘Iddah tiga kali quru’ yaitu bagi wanita yang telah mencapai usia Sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopousa, dan telah mengalami haidh.
-          Imamiyah, Maliki dan Syafi’i: menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (tidak haidh), sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa iddah, yang kemudian disempurnakan dengan dua masa suci sesudahnya.
-          Hanafi dan Hambali: menginterpretasikannya dengan haidh, sehingga bagaimanapun, wanita tersebut harus melewati tiga kali masa haidh (dalam menyelesaikan iddah-nya) sesudah dia ditalak, tidak termasuk masa haidh ketika ia dijatuhi talak.
4.      Kenapa harus ada iddah?
Karena masa iddah dilakukan untuk :
a.          Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.( Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 234.)
b.         Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.          Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberi kesempatan demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya. (Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.cit ., hlm. 138-139.)
d.         Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
e.          Iddah adalah masa berpikir untuk kembali lagi atau berpisah dan ihdad adalah rentan waktu/ masa berpikir untuk merencanakan menikah lagi, atau tetap tanpa “suami”dalam masa berkabungnya, mengingat Sifat wanita yang cenderung mengedepankan perasaannya dan loyal terhadap pasangannya.
f.          Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah.
g.          Masa peralihan untuk menentukan hidup baru.
h.         Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal.
i.           Masa untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami
j.           Sebagai hukum ta’abudy.

5.      Kenapa iddah wanita yang kehilangan suaminya berbeda dengan masa iddah yang lainnya?
Iddah wanita yang kehilangan suami berbeda dengan yang lainnya dan lebih lama karena hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada istri untuk mencari keberadaan suaminya terlebih dahulu, dan mencari tahu apakah suaminya masih hidup atau sudah meninggal.
Kelompok IV
1.      Apakah istri yang ditinggalkan suaminya akan mengalami masa iddah jika pasangan tersebut pada masa pernikahannya belum pernah bersetubuh? Tidak ada masa idah
2.      Alasan, mengapa anak kecil mengalami ihdad? Karena masa ihdad merupakan masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
Kelompok V
1.      Apakah yang di maksud dengan hukum ta’abudy? Hukum ta’abudy adalah hukum yang telah dianjurkan (ibadah)
3.      Apakah anak kecil itu sudah terkena ihdad? Sudah. Karena masa ihdad merupakan masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
2.      Apakah boleh menikah sebelum masa iddahnya habis, jika seorang istri yang ditinggal mati sudah menghendaki untuk menikah? Tidak boleh, karena dalam masa iddah merupakan masa dimana suami dan istri berfikir ulang untuk memperbaiki rumah tangga mereka, selain itu masa iddah dimaksudkan untuk menjaga harga diri seorang wanita.















DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.
Ad-Duraiwisy, Yusuf. 2010. Nikah Siri, Mut’ah & Kontrak. Jakarta: Darul Haq.
Ash-Shiddieqy, T M Hasbi. 2011. Koleksi Hadits-hadits Hukum. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Ensiklopedi Hukum Islam Ichtiar baru Van Hoeve 1997
Ghazali, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Hajr al ‘Asqalani, 2001. Ibnu. Bulughul Maraam, terjemahan A. Hasan. Bangil: Pustaka Tamaam.
Kamil Muhammad, Syekh. 1998. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Kamil Muhammad, Syaikh. 1998. ‘Uwaidah Fiqh Wanita diterjemahkan oleh  M. Abdul Ghofar E. M Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.



[1]  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 303.
[2]  Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 121-122.
[3] Syekh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998) , hlm. 449.
[4]  Amir Syarifuddin, Op. cit. hlm. 320.
[5]  Abdul Rahman Ghozali.  Fiqh Munakahat,  (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 302.

[6]  Ibid, hlm. 306.
[7]  Abdul Rahman Ghozali, Op.cit., hlm 307.
[8]  Ibid, hlm 309.
[9]  Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm.122-131.
[10]  Ibnu Hajr al ‘Asqalani, Bulughul Maraam, terjemahan A. Hasan (Bangil: Pustaka Tamaam, 2001), hlm. 506.

[11] T M Hasbi Ash- Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011 ), hlm. 252.
[12]  Ibid, hlm 138.
[13] Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut’ah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 234.
[14]  ,  Slamet Abidin dan Aminuddin, Op.cit ., hlm. 138-139.

Komentar